Mengapa aku tak pulang?
Bukan aku tak rindu kawan !
"Nak, maaf ya kalau kamu pulang kami nggak bisa ongkosin untuk balik lagi kesana".
bukan aku berburuk sangka pada Allah Yang Maha Kaya.
Tapi memang benar saja hampir setiap aku pulang, aku hanya merepotkan mereka pinjam uang kesana kemari untuk ongkosin aku balik lagi ke kota pendidikan itu.
Rumahku bukan di pinggiran kota medan kawan yang bisa ditempuh naik angkot dengan ongkos 7rb.
Rumahku ada di sana, sebuah desa terpencil di pinggirannya sumatera utara. Sekitar 10-12 jam perjalanan dari kota medan. transportasi juga masih susah, angkotnya hanya beroperasi di hari-hari tertentu (selasa,sabtu).
Bukan tak cinta dengan kampung halaman, hanya saja emang aku agak sedikit kelabakan setelah aku mencoba Hijrah dari duniaku yang dulu. Rumahku bukan seperti rumah kota yang dilengkapi kamar mandi sehingga lebih mudah untuk mandi atau berwudhu.
Jika hendak mandi atau menyampaikan hajat aku harus ke sungai yang mana tempat pemandian cow-cew hanya berjarak 6-10 meter. Sehingga aku harus mengatur stategi sendiri agar hijabku tetap terjaga dari fitnah. Menunggu matahari tenggelam atau sebelum matahari terbit adalah kesempatan khusus bagiku untuk bercengkrama dengan sungai untuk menyampaikan keperluanku.
Nggak terlalu mahal sih kalau mau menggali sumur dan membangun kamar mandi. Tapi entah kenapa rezeki untuk kesana selalu saja terhalang, kalau untuk uang kuliah atau kebutuhan lainnya insyaAllah ada saja jalannya.
Pernah suatu waktu aku berencana untuk mengajak Bapak/Ayah menggali sumur, aku sampai mengotong tong plastik dari Tanjung Balai sebanyak 3 buah untuk dijadikan dinding sumur karena kalau dicor mungkin butuh biaya lebih mahal, aku juga sudah mempersipkan closetnya, tapi entah apa yang menjadi penghalang sampai sekarang rencana itu belum terwujud.
Bukan aku menyesali takdirku yang terlahir di desa nan kolot dan tertinggal ini. Aku tetap bangga menjadi bagian dari masyarakatnya. Hanya saja tantangannya memang cukup besar bila aku berlama-lama di sana.
kondisi masyarakat yang begitu nyaman dengan hidup bermalas-malasan. Oh, mereka yang bertanggung jawab sebagai kepala rumah tangga asyiknya nongkrong dari pagi sampai tengah malam di kedai kopi. Jangan tanyakan kapan mereka shalat shubuh, kapan mereka shalat dhuhur, kapan mereka shalat magrib dan isya. Tidak semua warga sih seperti itu tapi hampir 90% kawan.
Oh, Masjid yang mungil itu hanya didatangi oleh mereka yang tubuhnya hampir bau tanah. Adapun kaula mudanya lebih asyik nangkring di kedai kopi. Beginilah kondisi desaku tercinta, masyarakatnya yang masih awam.
Tantangan besar bagiku adalah mempertahankan Qiyamulail dan Dhuhaku. Kadang-kadang aku mengambil air masak si mamah untuk berwudhu karena malam-malam ke sungai terlalu beresiko kawan.
Tapi bila takdirku harus menetap di sana, aku berharap takdir itu mungkin memilihku untuk menjadi da'iah di sana. Bila aku memang harus menetap di sana, aku akan lebih siap jika Allah memasangkan aku dengan seorang hamba yang dekat dengan Allah yang bersiap menyiarkan agama Allah di kampung kecilku itu agar masyarakatnya tak begitu asing dengan syari'at Allah.
Bukan aku tak rindu kawan !
"Nak, maaf ya kalau kamu pulang kami nggak bisa ongkosin untuk balik lagi kesana".
bukan aku berburuk sangka pada Allah Yang Maha Kaya.
Tapi memang benar saja hampir setiap aku pulang, aku hanya merepotkan mereka pinjam uang kesana kemari untuk ongkosin aku balik lagi ke kota pendidikan itu.
Rumahku bukan di pinggiran kota medan kawan yang bisa ditempuh naik angkot dengan ongkos 7rb.
Rumahku ada di sana, sebuah desa terpencil di pinggirannya sumatera utara. Sekitar 10-12 jam perjalanan dari kota medan. transportasi juga masih susah, angkotnya hanya beroperasi di hari-hari tertentu (selasa,sabtu).
Bukan tak cinta dengan kampung halaman, hanya saja emang aku agak sedikit kelabakan setelah aku mencoba Hijrah dari duniaku yang dulu. Rumahku bukan seperti rumah kota yang dilengkapi kamar mandi sehingga lebih mudah untuk mandi atau berwudhu.
Jika hendak mandi atau menyampaikan hajat aku harus ke sungai yang mana tempat pemandian cow-cew hanya berjarak 6-10 meter. Sehingga aku harus mengatur stategi sendiri agar hijabku tetap terjaga dari fitnah. Menunggu matahari tenggelam atau sebelum matahari terbit adalah kesempatan khusus bagiku untuk bercengkrama dengan sungai untuk menyampaikan keperluanku.
Nggak terlalu mahal sih kalau mau menggali sumur dan membangun kamar mandi. Tapi entah kenapa rezeki untuk kesana selalu saja terhalang, kalau untuk uang kuliah atau kebutuhan lainnya insyaAllah ada saja jalannya.
Pernah suatu waktu aku berencana untuk mengajak Bapak/Ayah menggali sumur, aku sampai mengotong tong plastik dari Tanjung Balai sebanyak 3 buah untuk dijadikan dinding sumur karena kalau dicor mungkin butuh biaya lebih mahal, aku juga sudah mempersipkan closetnya, tapi entah apa yang menjadi penghalang sampai sekarang rencana itu belum terwujud.
Bukan aku menyesali takdirku yang terlahir di desa nan kolot dan tertinggal ini. Aku tetap bangga menjadi bagian dari masyarakatnya. Hanya saja tantangannya memang cukup besar bila aku berlama-lama di sana.
kondisi masyarakat yang begitu nyaman dengan hidup bermalas-malasan. Oh, mereka yang bertanggung jawab sebagai kepala rumah tangga asyiknya nongkrong dari pagi sampai tengah malam di kedai kopi. Jangan tanyakan kapan mereka shalat shubuh, kapan mereka shalat dhuhur, kapan mereka shalat magrib dan isya. Tidak semua warga sih seperti itu tapi hampir 90% kawan.
Oh, Masjid yang mungil itu hanya didatangi oleh mereka yang tubuhnya hampir bau tanah. Adapun kaula mudanya lebih asyik nangkring di kedai kopi. Beginilah kondisi desaku tercinta, masyarakatnya yang masih awam.
Tantangan besar bagiku adalah mempertahankan Qiyamulail dan Dhuhaku. Kadang-kadang aku mengambil air masak si mamah untuk berwudhu karena malam-malam ke sungai terlalu beresiko kawan.
Tapi bila takdirku harus menetap di sana, aku berharap takdir itu mungkin memilihku untuk menjadi da'iah di sana. Bila aku memang harus menetap di sana, aku akan lebih siap jika Allah memasangkan aku dengan seorang hamba yang dekat dengan Allah yang bersiap menyiarkan agama Allah di kampung kecilku itu agar masyarakatnya tak begitu asing dengan syari'at Allah.
Comments