Ayahku, Kebanggaanku.



Ayah, Aku tahu, dulu engkau memiliki tubuh yang gagah sampai ibu pun jatuh cinta padamu. Namun, seiring waktu berlalu tubuhmu yang tegap kini terlihat rapuh dan lemah karena tanggungan hidupmu kini bertambah dengan kehadiran 3 putrimu tercinta. Tapi aku yakin, cinta ibu tidak pernah berkurang sekalipun tubuhmu terlihat kurus dan wajahmu yang makin keriput.
            Oh Ayah, Aku tahu engkau sangat menginginkan kehadiran seorang anak laki-laki dalam keluarga kita, tapi tolong jangan salahkan ibu, karena ibu juga menginginkan hal yang sama.
            Aku, aku sangat merasakan betapa engkau sangat mendambakan seorang anak laki-laki, untuk itulah engkau sering memperlakukan aku seperti anak laki-laki, engkau belikan aku baju lelaki, engkau suruh aku mengambil alih pekerjaan anak lelaki, sehingga sikap dan kepribadianku pun terkadang menyerupai laki-laki. Untungnya aku tidak memelihara sikap dan kepribadian itu.
Ayah, aku masih ingat suatu hari seseorang berkata padamu bahwa “Anak perempuan itu tidak perlu disekolahkan tinggi-tinggi karena pada akhirnya mereka akan menjadi milik orang lain”. Namun denga tegas ayah menjawab  “Aku tidak punya anak laki-laki, tapi aku yakin ketiga anak perempuanku akan menyayangiku, menjagaku melebihi kasih sayang anak laki-laki, oleh karena itu aku akan menyekolahkan ketiga putriku ini sedaya mampuku, akan kulakukan apapun untuk mereka, mereka kebanggaanku, mereka penerusku, dan kelak mereka pasti menjagaku menemani hari tuaku, ketiga putriku harus lebih sukses dari aku saat ini. Mereka jangan sampai merasakan hidup yang pahit seperti yang kurasakan saat ini”. 
Ayah, selepas mendengar pengakuan Ayah, air mataku berlinang, jiwaku bergoncang. Ingin rasanya aku mendekap tubuhmu sambil berbisik “Aku memang tidak akan pernah bisa berubah jadi seorang anak lelaki yang Ayah dambakan, tapi aku janji Ayah, aku akan membuatmu bangga layaknya seorang  Ayah yang membanggakan anak laki-lakinya. Ayah, aku janji aku akan menjagamu, menemani hari tuamu, senantiasa mendo’akanmu, sebagaimana engkau menjagaku dan memanjakanku waktu aku kecil, ayah aku akan mewujudkan mimpi dan harapanmu karena mimpimu mimpiku juga”.
            Ayah, aku tahu engkau sangat bahagia ketika aku meraih prestasi yang gemilang di sekolah untuk itu aku selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik. Ayah, masih terkenang olehku, ketika di hari  peneriman Rapor di kelas I SD Caturwulan I, engkau menungguku di depan pintu gerbang sekolah sambil berharap namaku akan disebut di depan khalayak ramai sebagai Sang Juara Kelas. Dan akhirnya harapan ayahpun terkabul, hari itu aku benar-benar menyaksikan raut wajah ayah yang begitu bahagia dan bangga, selepas menerima Rapor aku berlari ke arahmu sambil membawa Piagam penghargaan beserta Rapor yang menjadi kebanggaanku, engkau menangkap tubuhku yang mungil lalu engkau timang  dan engkau  lemparkan tubuhku kea rah langit, lalu engkau tangkap lagi sambil engkau bisikkan “Besok kita ke pasar (Pekan) ya nang beli baju baru”, aku pun melompat-lompat kegirangan aku merasakan kegembiaraan yang sangat.
Ayah, aku bersyukur karena engkau telah memperjuangkan kami hingga perguruan tinggi, walau engkau tidak memiliki harta yang cukup tapi semangat juangmu mengalahkan mimpi buruk yang dibisikkan oleh orang2 yang tidak senang melihat engkau begitu gigih memperjuangkan putrid-putrimu, engkau bahkan menahan diri untuk tidak memiliki sesuatu yang sangat engkau inginkan. Engkau rela bajumu jarang diganti dengan yang baru, engkau rela untuk lebih bersahaja dibandingkan dengan kawan-kawanmu.
Ketika duduk di bangku kelas I SLTP, engkau bekerja sebagai tukang kebun dan tukang sapu di sebuah Puskesmas. Melihat engkau sebagai tukang sapu, lagi-lagi air mataku berlinang, jiwaku bergoncang, aku tak bisa membelikan uang jajan yang ayah berikan, aku lebih memilih menelan ludah ketika melihat teman-teman makan gorengan, mie sop dan jajanan lainnya. Aku nggak sanggup ayah, aku terbayang bagaimana kerasnya perjuangan ayah untuk mengumpulkan rupiah.
Ayah, tidak ada hadiah besar yang bisa aku kuberikan padamu selain prestasi yang baik sehingga selama 12 tahun di bangku sekolah tujuan yang ada dalam pikiranku adalah meraih nilai yang bagus dan menunjukkan hasil Rapor yang bertuliskan Juara I.

Ayah, kini aku mulai dewasa, dan kini aku mulai sadar bahwa selama 12 tahun di bangku sekolah membuat aku menjadi anak yang pendiam, kurang bergaul, aku melewati masa remajaku tidak seperti anak-anak pada umumnya. Tapi sikap itu tidak berlaku ketika dalam pembelajaran, aku siswa yang aktif, aku menjadi bintang di kelas, aku juga kebanggan guru-guruku.
Hingga suatu waktu ketika hendak tamat dari SMK, aku ditawarkan oleh PKS kesiswaan untuk melanjutkan studiku ke PTN melalui jalur PMP, dan akhirnya kabar baik itu pun tiba yaitu datangnya sebuah surat yang menyatakan bahwa aku diterima sebagai mahasiswa di salah satu PTN di Medan, aku pun bahagia. Tapi kulihat wajah ayah tidak menunjukkan keceriaan. Aku pun terdiam dan bertanya-tanya dalam hati “Mengapa ayahku yang biasanya begitu semangat mendengar kabar baik tentangku, tiba-tiba terlihat murung”. masih dalam kebingungan tiba-tiba ayah bergumam, “Itu kuliahnya gratis nggak, atau ada beasiswa nggak?” oh ternyata ayah mulai gemetar, ayah mulai mundur, karena biaya yang aku butuhkan pasti tidak sedikit. Tapi dengan lembut aku membujukmu, “Ayah, ini memang tidak ada beasiswa, tapi aku janji setiba di kampus aku akan berusaha mendapatkan beasiswa itu, aku juga akan bekerja paruh waktu untuk mencari tambahan biaya hidup disana, InsyaAllah Allah akan memberikan kemudahan bagi hambanya yang sedang menuntut ilmu”.
Alhamdulillah, akhirnya ayang menerima argumenku, dan mengizinkan aku kuliah di  UNIMED. Aku berangkat menuju kota medan ditemani oleh ibuku yang tidak kalah tegarnya dibandingkan dengan Ayhaku. Waktu itu uang yang kami bawa masih kurang untuk membayar uang kuliahku, sehingga ibu harus minta tolong pada pamanku yang tinggal di medan. Akan tetapi saat itu pamanku juga lagi kesusahan sehingga tidak bisa membantu.
Tapi ibuku tidak kehabisan cara, ia membaku ke rumah sepupunya yang tidak jauh dari rumah pamanku, ia menceritakan kondisi kami yang sesungguhnya kepada sepupunya, lalu beliau pun turut prihatin dan berkenan membantu/ meminjamkan uang sebesar 1 juta.
2 semester telah berlalu, seperti biasa ayah selalu bertanya tentang nilaiku, Alhamdulillah aku  masih merai 5 besar di kelas. Semester 3 aku mulai Hijrah, yang dulunya aku identik dengan baju ngepas dan celana jeans, kini aku berubah menjadi seperti seorang muslimah yang baru masuk psantren dengan tubuh yang tertutup rapi dan rok yang membuat aku  lebih feminim. Manusia sekampung pun terheran-heran melihat penampilanku. Mereka seakan tak percaya bahkan mereka tak terima dengan penampilanku. Bahkan mereka menyuruhku membuka jilbab. Aku masih ingat kata-kata yang mereka lontarkan padaku “Buka kenapa jilbabmu, panas gini pake jilbab besar2, apa nggak pengap, lagian ini kan nggak di medan jadi teman-teman kamu nggak ada yang tahu kalau kamu buka jilbab”. Lalu dengan tegas aku menjawab, “Maaf kak, aku berjilbab karena Allah, dan Allah itu bukan hanya ada di medan, mungkin aku dulu memang orang yang mengumba aurat tapi itu dulu sebelum aku kenal dengan syari’at ini, sekarang aku punya sedikit pengetahuan dan aku sedang berusaha mengamalkan penegtahuan yang sedikit ini”.
Aku tahu ayah pun mencemaskan penampilanku, aku tahu ketika Ayah menyuruh orang lain untuk menyelidi aku, ayah takut aku masuk ke dalam golongan orang sesat. Itu memang wajar Ayah. Tapi, insyaAllah aku sedang berusaha meraih ridha-Nya Allah, agar aku bisa mendo’akan Ayah dan Ibu, agar aku menjadi anak yang salihah yang bisa Ayah banggakan di dunia dan di akhirat kelak.
Ayah, kini aku sudah selesai kuliah. Maaf hingga saat ini aku belum bisa membantu ayah untuk mendapatkan Motor dambaan Ayah. Semoga Allah membalas semua kebaikan Ayah. Semoga Allah meridhai setiap aktivitas Ayah. Semoga Ayah dimasukkan ke dalam golongan-golongan hamba yang selamat di dunia dan di akhirat kelas. Semoga Syurga adalah tempat yang mulia dan hadiah terindah dari Allah untuk Ayah nantinya. Amin.


Comments